Breakingnewsjabar.com – Kasus pemasangan pagar laut yang dianggap melanggar sejumlah undang-undang mendapat perhatian serius dari anggota Komisi III DPR RI, Abdullah. Ia mendesak agar penegak hukum mengusut tuntas kasus ini. “Ingat, Indonesia ini negara hukum, bukan negara kekuasaan.
Para pakar dan berbagai lapisan masyarakat yang mempertanyakan penegakan hukum kepada tersangka atau yang diduga bersalah adalah peringatan dini dari mereka terkait kepercayaan pada penegakan hukum,” ucapnya.
Abdullah menjelaskan bahwa kepemilikan pagar laut di Tangerang terbagi antara perusahaan dan perorangan. Sebagian besar lahan, yaitu 234 bidang, tercatat atas nama PT Agung Intan Makmur dengan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB).
PT Cahaya Inti Sentosa memiliki 20 bidang dengan HGB dan sembilan individu memiliki total 17 bidang dengan sertifikat Hak Milik (SHM). Total bidang yang memiliki sertifikat HGB adalah 263 bidang.
Sertifikat kepemilikan pagar laut di Tangerang diduga bermasalah dan berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang tentang Pokok Agraria, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang tentang Kelautan, Undang-Undang tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang tentang Cipta Kerja, dan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi.
Abdullah menyampaikan pendapatnya mengenai kasus pagar laut, ia menekankan bahwa penegakan hukum melalui penetapan tersangka merupakan tindakan yang krusial. Hal ini didasari oleh fakta bahwa pemasangan pagar laut telah menyebabkan kerusakan signifikan terhadap lingkungan alam.
Pemasangan pagar laut tidak hanya menimbulkan masalah hukum dan lingkungan, tetapi juga berdampak negatif pada perekonomian nelayan yang bergantung pada laut di sekitar lokasi. Abdullah menyampaikan bahwa Ombudsman RI telah memiliki data rinci mengenai kerugian yang timbul akibat pemasangan pagar laut.
Data yang dimiliki oleh Ombudsman RI mencatat kerugian sebesar Rp116,91 miliar per tahun akibat pemasangan pagar laut. Kerugian ini terdiri dari penurunan pendapatan nelayan sebesar Rp93,31 miliar, peningkatan biaya operasional sebesar Rp18,60 miliar, dan kerusakan ekosistem laut senilai Rp5 miliar.
Warga Desa Kohod telah mengambil langkah hukum dengan melaporkan dugaan pencatutan nama mereka dalam sertifikat HGB ke Kementerian ATR/BPN.
“Ini saya khawatir dengan anggapan banyak pihak yang menilai negara kalah dengan oligarki. Ini akan memunculkan stigma, kalau punya kuasa politik dan bisnis, melanggar aturan akan aman saja. Tidak dapat dibenarkan hal ini,” kata Abdullah dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Antara pada 29 Januari 2025.
Dalam upaya menyelesaikan permasalahan pagar laut, ia menyerukan agar semua pihak terkait, termasuk aparat penegak hukum, bekerja sama untuk mengungkap dan mengusut tuntas siapa saja yang terlibat dalam pemasangan pagar laut tersebut.****

