Breakingnewsjabar.com – JAKARTA | Meskipun para aktor politik di Indonesia memiliki opsi untuk mengambil kebijakan yang pro-rakyat, mereka tetap terjebak dalam struktur oligarki yang membatasi ruang gerak mereka. Oleh karena itu, kritik terhadap oligarki seharusnya difokuskan pada sistem politik dan sosial-ekonomi secara keseluruhan, bukan hanya menyoroti individu tertentu.
Pernyataan ini muncul dalam Mini Conference bertajuk “20 Years After the Reorganisation of Power in Indonesia: State and Capital in an Age of Polycrisis” , yang diselenggarakan oleh Asia Research Centre Universitas Indonesia (UI) di kampus UI Depok, Jawa Barat, Selasa (11/2/2025).
Diskusi tersebut menghadirkan narasumber ternama seperti Vedi Hadiz dari University of Melbourne, Marcus Mietzner dari Australian National University, serta moderator Amalinda Savarani dari Universitas Gadjah Mada. Pembicara utama dalam acara ini adalah Richard Robison dari University of Melbourne dan Faris Al-Fadhat dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Dalam diskusi, Vedi Hadiz membandingkan situasi politik di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dengan periode awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Vedi, perbedaan utama antara keduanya terletak pada pendekatan terhadap kekuasaan.
Jokowi, yang berasal dari sistem desentralisasi, awalnya berupaya mempertahankan model pemerintahan yang lebih mendistribusikan kekuasaan ke daerah. Namun, meski memiliki niat baik, ia tetap bergantung pada dukungan oligarki untuk menjaga stabilitas pemerintahan.
Di sisi lain, di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, ada kecenderungan untuk meresentralisasi kekuasaan. Meskipun demikian, Vedi menilai bahwa sentralisasi total seperti era Orde Baru sulit terjadi karena terlalu banyak kepentingan yang telah terlibat dalam sistem demokrasi pasca-reformasi.
Salah satu faktor penting dalam wacana resentralisasi adalah peran aparat keamanan. “Kita sudah melihat pertumbuhan signifikan peran militer dalam berbagai aspek kehidupan publik. Meskipun Jokowi membuka pintu untuk hal ini, Prabowo akan memanfaatkannya semaksimal mungkin,” ujar Vedi.
Vedi juga menyoroti strategi yang harus diambil oleh gerakan masyarakat dalam menghadapi oligarki. Menurutnya, oposisi terhadap oligarki harus fokus pada struktur politik dan sosial-ekonomi, bukan hanya menyerang individu tertentu. “Jika hanya fokus pada individu, konflik oligarki bisa menjadi tidak terarah dan tidak efektif,” katanya.
Sejak runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, peta oligarki di Indonesia menjadi semakin kompleks dan tidak lagi terpusat pada satu figur. Hal ini, menurut Vedi, menyebabkan disorientasi dalam strategi politik kelompok-kelompok progresif.
Dengan dinamika politik yang terus berkembang, tantangan besar bagi demokrasi Indonesia adalah bagaimana menavigasi kepentingan oligarki tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan sejak reformasi.
Dalam analisisnya tentang oligarki, Richard Robison menegaskan bahwa oligarki bukan sekadar dominasi oleh kelompok elite atau orang kaya, melainkan sebuah sistem aturan sosial, ekonomi, dan politik yang terstruktur untuk mempertahankan kepentingan segelintir pihak.
“Oligarki lebih dari sekadar kelas pemerintahan. Lebih dari elite. Lebih dari kapitalisme kronis. Lebih dari sekadar pemerintahan oleh orang kaya atau oleh beberapa individu,” tegas Robison.
Sumber : kompas.id

