Breakingnewsjabar.com – Pekanbaru | Hari Pers Nasional (HPN) 2025 menjadi momentum penting untuk mengapresiasi kontribusi dunia pers dalam menjaga demokrasi, menyediakan informasi akurat, dan melindungi hak masyarakat. Di tengah era digital yang terus berkembang, peran pers semakin vital dalam menyebarkan informasi yang bertanggung jawab serta mengawal kebebasan berekspresi. Dalam rangka memperingati HPN 2025, Panitia HPN Riau menggelar Sarasehan Nasional Media Massa dengan tema Preservasi Jurnalisme Sebagai Pilar Demokrasi Digital .
Acara ini dihadiri oleh sejumlah tokoh pers nasional, termasuk Agus Sudibyo (Ketua Dewan Pengawas TVRI), Nurjaman Mochtar (Sekretaris Dewan Pakar PWI Pusat), Dhimam Abror (Ketua Dewan Pakar PWI Pusat), dan Hilman Hidayat (Ketua PWI Jawa Barat). Diskusi dipandu oleh Djoko Tetuko (Ketua Dewan Kehormatan PWI Jatim) di salah satu hotel di Pekanbaru, Sabtu (8/2/2025).
Selain para pembicara utama, hadir pula tokoh-tokoh pers ternama seperti Tribuana Said, Ilham Bintang, Atal S. Depari, Asro Kamal Rokan, Dar Edi Yoga, dan Musrifah. Acara ini membahas tantangan dan peluang jurnalisme di era disrupsi digital yang semakin pesat.
Masa Depan Jurnalisme di Era Digital
Hilman Hidayat, Ketua PWI Jawa Barat, menyoroti masa depan jurnalisme di era digital yang kian suram. Ia mengungkapkan bahwa banyak media online saat ini menghadapi serangan siber dari berbagai pihak yang tidak terduga sebelumnya.
“Apakah jurnalisme di era digital masih cerah atau semakin suram? Data yang saya kumpulkan menunjukkan bahwa kondisinya semakin suram,” ujar Hilman. Ia menjelaskan bahwa dari 40 ribu konten kreator dan wartawan yang memproduksi sekitar 15 ribu berita per hari, banyak yang menjadi sasaran serangan hacker.
“Ada hal yang membahayakan bagi eksistensi jurnalisme. Misalnya, ada ribuan berita yang di-hack oleh pihak tertentu setiap bulan. Serangan ini datang dari berbagai kalangan, mulai dari kepala desa hingga pejabat berseragam,” tambahnya.
Dominasi Platform Digital dalam Belanja Iklan
Agus Sudibyo, Ketua Dewan Pengawas TVRI, memaparkan data mengejutkan tentang belanja iklan di Indonesia pada tahun 2024. Total belanja iklan mencapai Rp107,291 triliun, dengan dominasi iklan digital sebesar 44,1%. Media online menyumbang 17,3%, televisi 15,5%, media sosial 11,6%, retail media network 7,2%, dan media cetak hanya 4,3%.
“Perusahaan besar seperti Google dan Facebook menguasai 75-80% dari total belanja iklan digital nasional, sementara media nasional hanya mendapatkan sisanya,” ungkap Agus.
Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa kebutuhan masyarakat akan informasi berkualitas tetap tinggi. “Media sosial tidak bisa sepenuhnya menggantikan fungsi media tradisional dalam menyediakan informasi yang akurat dan terverifikasi,” ujarnya.
Agus juga menyoroti maraknya berita hoaks di media sosial yang sering kali memecah belah masyarakat dan merusak integritas demokrasi. “Tidak perlu terlalu khawatir karena meskipun tantangannya besar, kebutuhan akan informasi berkualitas dan jurnalisme yang bertanggung jawab tetap ada,” katanya.
Ia menekankan pentingnya model distribusi konten yang adaptif. Menurutnya, media tradisional harus memanfaatkan media sosial sebagai alat distribusi efektif tanpa mengorbankan kualitas dan integritas informasi.
Di akhir paparannya, Agus menyebut fenomena “imperialisme digital,” di mana beberapa perusahaan teknologi besar mendominasi pasar digital global. “Digitalisasi adalah fenomena global, tetapi surplus ekonominya hanya dinikmati oleh segelintir perusahaan besar,” tuturnya.
Era Kecerdasan Buatan dan Tantangan Jurnalis
Nurjaman Mochtar, Sekretaris Dewan Pakar PWI Pusat, membahas peran jurnalis di era kecerdasan buatan (AI). Menurutnya, 80% sumber berita konvensional saat ini berasal dari media sosial, dan semakin banyak instansi yang membuat konten berita sendiri melalui portal dan media sosial mereka.
“Ke depan, perusahaan atau instansi sumber berita akan lebih banyak membuat konten sendiri dan menyimpannya di platform mereka. Dengan AI, membuat narasi atau video berita bukan lagi hal sulit,” kata Nurjaman. Ia memprediksi bahwa peran media mainstream mungkin hanya akan fokus pada verifikasi konten dan pertanggungjawaban kepada Dewan Pers.
Menurut Nurjaman, tantangan ini menuntut wartawan untuk lebih kritis dan adaptif terhadap perubahan teknologi.
Preservasi Jurnalisme untuk Memperkuat Demokrasi
Dhimam Abror, Ketua Dewan Pakar PWI Pusat, menekankan pentingnya preservasi jurnalisme sebagai sarana memperkuat demokrasi. Ia menjelaskan bahwa ruang digital telah menjadi tempat strategis untuk partisipasi dalam proses demokrasi, terutama dalam menyediakan informasi yang mendorong masyarakat berpikir kritis.
“Media baru yang lebih interaktif dan mudah diakses telah membuka ruang bagi partisipasi masyarakat dalam komunikasi dan pemberitaan. Namun, media harus tetap menjaga independensi, akuntabilitas, dan keberagaman dalam menyampaikan informasi,” ujar Dhimam.
Ia menambahkan bahwa media baru memberikan peluang bagi masyarakat untuk lebih terlibat dalam proses demokrasi, asalkan media tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasar jurnalisme yang sehat dan bermanfaat bagi masyarakat.
Sumber : pikiran-rakyat.com

