Breakingnewsjabar.com – Rencana untuk mencapai gencatan senjata permanen antara Israel dan Hamas masih jauh dari kata kesepakatan. Hamas secara tegas menolak “formulasi” yang diajukan oleh Israel terkait perpanjangan fase pertama gencatan senjata, alih-alih mendorong transisi ke fase kedua seperti yang telah direncanakan sebelumnya. Menurut laporan Al Jazeera pada Senin (3/3/2025), kelompok Palestina tersebut menyebut rencana Israel tidak dapat diterima.
Juru bicara Hamas, Hazem Qassem, dalam wawancaranya dengan Al Araby TV , menegaskan bahwa tidak ada pembicaraan lanjutan mengenai fase kedua gencatan senjata meskipun fase pertama telah berakhir pada Sabtu, 1 Maret 2025. Qassem menyalahkan Israel karena tidak memulai negosiasi lebih lanjut. Ia menuding bahwa Israel hanya ingin membebaskan sisa tawanan dari Gaza sambil tetap mempertahankan opsi untuk melanjutkan konflik di masa mendatang.
Komentar ini muncul sehari setelah Hamas mendesak Israel untuk beralih ke fase kedua gencatan senjata dan menegaskan “komitmen penuh” mereka untuk menjalankan semua ketentuan perjanjian dalam setiap tahapannya. Namun, upaya mediasi yang melibatkan pejabat Israel, mediator dari Qatar, dan Amerika Serikat (AS) di Kairo pada Kamis lalu tampaknya belum membuahkan hasil signifikan.
Israel Tawarkan Perpanjangan Fase Pertama dengan Syarat
Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, mengungkapkan bahwa Israel siap memperpanjang kerangka kerja fase pertama gencatan senjata, tetapi dengan syarat pembebasan lebih banyak sandera dari Gaza. “Kami mengatakan kami siap untuk memperpanjang kerangka kerja [fase pertama] dengan imbalan pembebasan lebih banyak sandera. Jika memungkinkan, kami akan melakukannya,” ujar Saar kepada wartawan.\
Namun, sikap ini ditentang keras oleh Hamas, yang menilai langkah tersebut tidak sesuai dengan semangat perjanjian awal. Hamas menegaskan bahwa fokus utama saat ini adalah memastikan transisi ke fase kedua, yang bertujuan untuk mengakhiri pertempuran secara menyeluruh di Gaza. Fase ini juga mencakup pengembalian seluruh tawanan yang tersisa serta penarikan penuh pasukan Israel dari wilayah tersebut.
Menurut data dari Israel, ada 59 tawanan yang masih berada di Gaza, di mana 24 di antaranya diyakini masih hidup. Sementara itu, Kantor Media Pemerintah Gaza (GMO) melaporkan serangkaian pelanggaran oleh Israel sejak gencatan senjata dimulai pada 19 Januari 2025. GMO mencatat lebih dari 350 pelanggaran, termasuk serangan militer, tembakan sporadis, serangan udara, pengawasan intensif, hingga penghalangan distribusi bantuan kemanusiaan.
Pelanggaran Gencatan Senjata oleh Israel
Menurut GMO, tentara Israel telah membunuh dan melukai puluhan warga Palestina melalui serangan udara dan penembakan sejak gencatan senjata mulai berlaku. Selain itu, GMO juga melaporkan adanya penundaan dalam mengizinkan keluarga terlantar untuk kembali ke daerah-daerah di Gaza utara. Bantuan kemanusiaan yang disepakati untuk masuk ke wilayah Gaza juga dilaporkan tidak mencapai jumlah yang diharapkan, sehingga memperburuk kondisi krisis kemanusiaan di daerah tersebut.
Ketegangan ini semakin memperumit prospek perdamaian di wilayah konflik. Meski gencatan senjata sementara berhasil mengurangi eskalasi pertempuran, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi membuat Hamas semakin skeptis terhadap niat Israel untuk benar-benar mengakhiri konflik.
Fase kedua gencatan senjata diharapkan menjadi solusi komprehensif untuk mengakhiri pertempuran di Gaza. Selain pembebasan tawanan, fase ini juga diharapkan mencakup penarikan penuh pasukan Israel dari wilayah tersebut serta peningkatan akses bantuan kemanusiaan bagi warga Gaza. Namun, tanpa komitmen nyata dari kedua belah pihak, harapan untuk mencapai perdamaian permanen tampaknya masih sulit diwujudkan.
Negosiasi yang melibatkan mediator internasional seperti Qatar dan AS diharapkan dapat membuka jalan bagi dialog yang lebih produktif. Namun, hingga saat ini, kedua pihak masih terjebak dalam sikap saling menyalahkan, sehingga proses perdamaian terus mengalami stagnasi.

