Breakingnewsjabar.com – JAKARTA | Aroma nostalgia yang menyakitkan kembali tercium dari dunia sirkus Indonesia. Direktorat Tindak Pidana Pelindungan Perempuan dan Anak serta Pemberantasan Perdagangan Orang (Dittipid PPA-PPO) Bareskrim Polri tengah menelusuri laporan dugaan eksploitasi terhadap mantan pemain sirkus di Oriental Circus Indonesia (OCI), yang pertama kali dilaporkan pada tahun 1997 silam.
“Terkait dengan laporan di tahun 1997, kami masih berupaya mencari data-datanya karena kejadian ini sudah berlangsung selama 28 tahun,” ujar Brigjen Pol. Nurul Azizah, Dirtipid PPA-PPO Bareskrim Polri, saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Langkah tersebut diambil sebagai respons atas desakan publik dan lembaga legislatif yang meminta agar kasus ini dibuka kembali. Untuk itu, Bareskrim telah mengirim surat kepada unit-unit internal Polri yang bertanggung jawab atas arsip laporan lama guna menemukan dokumen terkait.
“Kami juga terus berkoordinasi dengan Kementerian PPPA, termasuk mengikuti beberapa pertemuan bersama untuk membahas langkah-langkah selanjutnya,” tambah Nurul.
Permintaan pembukaan kembali kasus ini muncul setelah Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Sugiat Santoso mendengarkan langsung testimoni para korban. Dalam audiensi yang digelar Selasa (23/4), Sugiat menyatakan bahwa Komisi mendukung penuh upaya pembukaan kembali penyelidikan.
“Kami mendorong Mabes Polri untuk membuka kembali kasus ini, dan nanti biar disesuaikan bagaimana teknisnya,” ujar Sugiat.
Salah satu testimoni yang paling menyayat hati datang dari Lisa, seorang perempuan yang mengaku diculik dari orang tuanya oleh pemilik OCI, Jansen Manansang, sekitar tahun 1976 saat ia masih balita. Lisa mengaku dibawa secara paksa dan kemudian dibesarkan dalam lingkungan sirkus yang keras dan penuh kekerasan.
“Saya takut, saya nangis, saya minta pulang, tapi tidak diperbolehkan. Saya dimasukkan ke dalam karavan gelap. Saya cari mama saya, tapi tidak ketemu,” kata Lisa dengan suara bergetar.
Selain terpisah dari keluarga, Lisa dan anak-anak lain yang menjadi bagian dari sirkus mengalami kekerasan fisik jika melakukan kesalahan selama latihan. Mereka juga tidak mendapatkan pendidikan yang layak.
“Tidak ada sekolah formal. Kami hanya diajari menulis dan berhitung, itupun oleh karyawati, bukan guru profesional,” tutur Lisa, yang kini berusia sekitar 50 tahun namun masih belum mengetahui nama aslinya atau siapa orang tuanya.
Data dari Komnas HAM menyebutkan bahwa penyelidikan atas kasus ini sempat dihentikan oleh kepolisian pada tahun 1999. Namun, kisah-kisah yang kembali mencuat belakangan ini menunjukkan bahwa luka lama itu belum sembuh, dan keadilan masih tertinggal di antara debu panggung sirkus.
Sumber: Divisi Humas Polri