Breakingnewsjabar.com – TASIKMALAYA | Ratusan warga dari Kampung Antralina, Desa Buniasih, Kecamatan Kadipaten, dan Kampung Picung, Desa Guranteng, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, mendatangi Kantor ATR/BPN (Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) Kabupaten Tasikmalaya pada Senin (19/5/2025). Mereka menuntut kejelasan status hukum atas tanah yang telah mereka tempati selama puluhan tahun akibat relokasi pasca bencana alam.
Dengan membawa poster-poster bertuliskan tuntutan, massa menggelar orasi di depan kantor BPN. Mereka meminta agar tanah relokasi yang ditempati sejak menjadi korban bencana dapat disertifikasi sebagai hak milik. Menurut warga, tanah tersebut bukanlah tanah desa, melainkan tanah pangangonan milik negara, yang secara historis telah mereka tempati atas persetujuan pemerintah saat itu.
“Kami adalah masyarakat korban bencana alam. Sudah puluhan tahun kami tinggal di sini, semua syarat sudah kami penuhi untuk mendapatkan kejelasan status hukum tanah ini. Namun, hak kami belum juga diakui. Pemerintah seperti menutup mata,” ujar Dedi Supriadi, koordinator aksi sekaligus kuasa hukum masyarakat terdampak bencana.
Menurut Dedi, seluruh persyaratan administratif yang diminta oleh BPN telah dilengkapi sejak satu tahun lalu. Namun, belakangan muncul permintaan syarat baru yang dinilai janggal dan menyulitkan proses redistribusi lahan. Ia menegaskan bahwa masalah ini bukan hanya soal hak atas tanah, tetapi juga tentang harga diri sebagai warga negara yang merasa diabaikan. Total ada sekitar 400 jiwa yang tinggal di tanah pangangonan tersebut, yakni korban bencana pergerakan tanah pada tahun 1963 dan 1992 yang direlokasi oleh pemerintah ke lokasi ini.
Salah seorang tokoh masyarakat Kampung Picung, Momo (66), mengungkapkan bahwa ia dan keluarganya telah tinggal di tanah pangangonan sejak tahun 1963 setelah kampung asalnya hancur akibat bencana pergerakan tanah. Meskipun mereka rutin membayar pajak berdasarkan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang), mereka tidak memiliki sertifikat atas tanah yang ditempatinya.
“Akan tetapi, hingga kini kami tidak memiliki kekuatan hukum atas tanah yang kami tempati. Kalau SPPT pajak, kami menerima dan selalu bayar tiap tahun, tetapi untuk sertifikat tidak ada,” jelas Momo. Ia khawatir jika suatu saat muncul persoalan hukum atas tanah tersebut. Kembali ke kampung asal juga mustahil karena wilayah tersebut sudah porak-poranda dan rawan bencana.
Aksi sempat memanas ketika sebagian warga mencoba masuk ke dalam kantor BPN. Namun, situasi berhasil diredam oleh petugas keamanan setelah Ketua ATR/BPN Kabupaten Tasikmalaya, Samsu Wijana, keluar untuk menemui massa.
Pernyataan BPN Samsu Wijana menjelaskan bahwa pihaknya tidak tinggal diam terhadap tuntutan warga. Berkas permohonan sertifikasi tanah dari dua desa tersebut telah diterima dan sedang dalam proses verifikasi. “Berkasnya sudah kami terima dan teliti. Kami juga sudah mendapatkan surat dari BPKAD dan Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat yang menyatakan bahwa tanah pangangonan itu bukan aset provinsi. Sekarang tinggal menunggu kelengkapan dokumen dari tingkat kabupaten,” ujar Samsu.
Ia menambahkan bahwa BPN siap mendorong percepatan penyelesaian kasus ini, namun prosesnya harus sesuai dengan prosedur yang berlaku. Untuk langkah awal, pihaknya akan mengadakan rapat dengan Pemda Tasikmalaya minggu ini guna memproses tuntutan warga. Jika semua syarat lengkap, maka sertifikasi tanah akan segera diproses.
Respon DPRD Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Asep Muslim, yang hadir dalam aksi tersebut, menegaskan bahwa legislatif akan mengawal penuh proses legalisasi lahan ini. Ia memastikan tidak akan ada penggusuran terhadap warga yang telah menghuni lahan tersebut selama puluhan tahun.
“DPRD memastikan tidak akan ada penggusuran. Semua proses administrasi harus ditempuh, dan kami akan terus mengawal hingga tuntas. Ini soal keadilan bagi rakyat yang sudah terlalu lama menanti,” tegas Asep.
Latar Belakang Polemik status tanah pangangonan ini mencuat sejak dua tahun terakhir. Tanah tersebut digunakan sebagai lahan relokasi bagi warga korban bencana dari Kampung Antralina dan Kampung Picung. Namun, hingga kini, warga belum mendapatkan kepastian hukum atas lahan tersebut meskipun telah menempatinya selama puluhan tahun. Sebelumnya, pada pertemuan 29 April 2025 antara perwakilan warga, BPN, dan Pemkab Tasikmalaya di Sekretariat DPD LPM, telah disepakati tenggat waktu 14 hari kerja untuk menunjukkan progres penyelesaian. Namun, warga menilai tidak ada langkah konkret sejak saat itu.
“Sudah terlalu lama kami sabar. Ini bukan hanya soal tanah, tapi soal harga diri. Kami bukan pengemis, kami minta hak kami yang sah,” tegas Hendi, Ketua Panitia Redistribusi Kampung Antralina.
Hal senada disampaikan oleh Asep, Ketua Panitia Redistribusi Kampung Picung. Ia menyebut warga sudah mengikuti semua prosedur yang ditetapkan BPN, namun justru dipersulit dengan syarat tambahan yang tidak konsisten.
Sumber: kabarsingaparna.pikiran-rakyat.com