Breakingnewsjabar.com – KARAWANG | Praperadilan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-HAP) menjadi topik yang menarik untuk dibahas, karena pengaturannya dirumuskan secara kontradiktif melalui pendekatan definisi dan operasional. Secara definisi, praperadilan dijelaskan dalam Pasal 1 angka 14 RUU-HAP sebagai kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus keberatan yang diajukan oleh tersangka atau keluarga tersangka, korban atau keluarga korban, pelapor, atau advokat yang diberi kuasa untuk mewakili kepentingan hukum tersangka atau korban. Keberatan ini terkait dengan tindakan penyidik dalam proses penyidikan atau tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan sesuai ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut.
Secara operasional, praperadilan diatur dalam Pasal 149 ayat (1), yang memberikan wewenang kepada Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tiga hal utama. Pertama, memutus sah atau tidaknya pelaksanaan upaya paksa. Kedua, memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Ketiga, memutus permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tahap penyidikan atau penuntutan.
Dari sudut pandang pendekatan definisi, fokus praperadilan adalah menguji dua hal secara alternatif. Pertama, menguji tindakan penyidik dalam menjalankan penyidikan. Kedua, menguji tindakan penuntut umum dalam menjalankan penuntutan. Sementara itu, dari sudut pandang operasional, fokus praperadilan adalah menguji upaya paksa, penghentian penyidikan/penuntutan, serta permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.
Kriteria ini memiliki dampak signifikan terhadap praktik pengungkapan perkara pidana dan pemeriksaan di persidangan. Dalam konteks pengungkapan kasus, penyelidikan dan penyidikan merupakan tahap penting setelah adanya laporan atau pengaduan tentang suatu tindak pidana. Penyelidikan difokuskan untuk mencari dan mengidentifikasi peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan apakah dapat dilanjutkan ke tahap penyidikan. Sedangkan penyidikan bertujuan untuk mengumpulkan alat bukti guna mengungkap tindak pidana dan menemukan tersangka. Perbedaan lainnya adalah bahwa penyelidikan belum melibatkan upaya paksa, sedangkan penyidikan sudah.
Tindakan penyidik dalam melakukan penyidikan yang menjadi objek uji di forum praperadilan merujuk pada definisi penyidikan, yaitu serangkaian tindakan untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti guna mengungkap tindak pidana dan menemukan tersangka. Sementara itu, tindakan penuntut umum dalam melakukan penuntutan yang menjadi objek uji di forum praperadilan merujuk pada definisi penuntutan, yaitu tindakan untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang agar diperiksa dan diputus oleh hakim.
Ruang lingkup tindakan penyidik dalam melakukan penyidikan tidak hanya mencakup upaya paksa, tetapi juga meliputi tindakan administrasi penyidikan. Tindakan administrasi penyidikan ini menjadi syarat formal dalam proses penyidikan dan menandai akhir dari rangkaian penyidikan. Namun, ada beberapa titik rawan yang dapat memicu praperadilan.
Pertama, tersangka dapat mengajukan praperadilan terhadap keterangan saksi atau ahli yang dianggap memberatkan dengan dalil bahwa keterangan tersebut subjektif, tendensius, tidak sesuai dengan keahlian, atau tidak relevan. Di sisi lain, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, penyidik tidak berwenang menilai keterangan saksi/ahli sebelum memanggil dan memeriksa saksi/ahli yang menguntungkan tersangka. Alasannya, penyidik berkewajiban memanggil dan memeriksa saksi/ahli yang menguntungkan tersangka tanpa terlebih dahulu menilai relevansinya.
Kedua, tersangka dapat mengajukan praperadilan atas tindakan penyidik yang menyerahkan tanggung jawab yuridis penanganan perkara kepada penuntut umum. Proses ini dikenal sebagai tahap dua, yaitu penyerahan tersangka dan barang bukti oleh penyidik kepada penuntut umum. Sejak penyerahan ini, tanggung jawab atas perkara beralih dari penyidik ke penuntut umum. Namun, muncul pertanyaan apakah penyerahan ini dapat menggugurkan praperadilan jika proses praperadilan belum selesai. Jika konsisten dengan objek praperadilan, yaitu tindakan penyidik dalam melakukan penyidikan, maka penyerahan tahap dua dapat dianggap sebagai tindakan penyidik yang menggugurkan praperadilan.
Ketiga, tersangka dapat mengajukan praperadilan atas tindakan penuntut umum yang melimpahkan perkara ke persidangan saat proses praperadilan di tingkat penyidikan belum selesai. Forum praperadilan akan memeriksa apakah berkas perkara yang dinyatakan lengkap telah memenuhi persyaratan formil dan materil sehingga penuntut umum berwenang melimpahkan perkara ke persidangan. Jika ini terjadi, kemungkinan besar proses persidangan pokok perkara akan tertunda.
Menempatkan tindakan penyidik dalam melakukan penyidikan dan tindakan penuntut umum dalam melakukan penuntutan sebagai objek praperadilan akan memperluas jangkauan praperadilan, yang semula hanya terbatas pada fase penyidikan hingga mencakup fase penuntutan. Namun, perluasan ini perlu dikritisi. Pertama, hal ini tidak konsisten dengan esensi penyidikan, yaitu mencari dan mengumpulkan alat bukti, mengungkap tindak pidana, dan menemukan tersangka. Kedua, arena penyidikan sebagai forum untuk mengungkap kasus pidana dengan berbagai dinamika, termasuk penggunaan upaya paksa, berakhir ketika hasil penyidikan dinyatakan lengkap oleh penuntut umum.
Tidak logis jika tindakan penuntut umum yang menyatakan berkas perkara lengkap dan melimpahkan perkara ke persidangan kemudian diajukan praperadilan, karena tindakan ini merupakan bagian dari administrasi perkara yang tidak berkorelasi dengan upaya paksa. Mengembalikan esensi praperadilan untuk menguji keabsahan penyidikan lebih rasional daripada memperluas praperadilan untuk menguji keabsahan penuntutan.
Setia Budi Hartono, dosen FH Unsika Karawang