Breakingnewsjabar.com – Program Pangan Dunia (WFP) mengumumkan bahwa stok makanan di Jalur Gaza telah habis akibat penutupan perbatasan oleh Israel untuk masuknya bantuan ke wilayah tersebut.
“Hari ini, WFP mengirimkan stok makanan terakhirnya ke dapur umum,” ujar pernyataan WFP pada Jumat (25/4/2025), seperti dilansir dari APNews .
“Dapur-dapur ini diperkirakan akan kehabisan makanan dalam beberapa hari mendatang.”
Pada akhir Maret 2025, semua 25 toko roti yang didukung oleh WFP di Gaza terpaksa tutup karena kelangkaan tepung terigu dan bahan bakar untuk memasak. Selain itu, paket makanan yang biasanya didistribusikan ke keluarga dengan jatah dua minggu juga telah habis.
Krisis malnutrisi semakin memburuk. Pekan lalu, salah satu mitra kemanusiaan WFP memeriksa 1.300 anak di Gaza utara dan menemukan lebih dari 80 kasus malnutrisi akut, meningkat dua kali lipat dibandingkan minggu-minggu sebelumnya.
WFP menyatakan bahwa ada 116 ribu ton makanan siap dikirim ke Gaza jika Israel membuka perbatasan. Jumlah ini cukup untuk memberi makan 1 juta orang selama empat bulan.
Israel menghentikan semua pasokan makanan, bahan bakar, obat-obatan, dan kebutuhan lainnya ke Gaza pada 2 Maret 2025, kemudian melanjutkan pemboman dan serangan darat dua minggu kemudian, yang mengakhiri gencatan senjata selama dua bulan dengan Hamas. Israel menyebut tindakan ini sebagai upaya untuk menekan Hamas agar membebaskan sandera yang masih ditahannya. Namun, kelompok hak asasi manusia menilai blokade ini sebagai potensi kejahatan perang.
Krisis pangan ini mengancam kondisi warga Gaza, terutama anak-anak. Badan PBB UNICEF memperingatkan bahwa lebih dari 60.000 anak di Gaza akan membutuhkan perawatan untuk kekurangan gizi akut pada tahun 2025. Beberapa anak bahkan telah meninggal dunia akibat malnutrisi. Anak-anak yang berhasil bertahan tetap menghadapi risiko kesehatan jangka panjang akibat kekurangan gizi.
Hamas menyatakan kesiapan untuk mencapai kesepakatan damai dengan Israel, termasuk pembebasan semua sandera dalam satu gelombang sebagai imbalan atas gencatan senjata selama lima tahun di Gaza. Dilansir AFP pada Minggu (27/4/2025), delegasi Hamas telah berkunjung ke Kairo, Mesir, untuk berdiskusi dengan mediator mengenai cara mengakhiri perang yang telah berlangsung selama 18 bulan dan menewaskan lebih dari 51 ribu orang di Gaza.
Namun, perundingan gencatan senjata ini berpacu dengan waktu karena kondisi di Gaza semakin kritis. Stok makanan dan medis terus menipis.
Pejabat Hamas, yang berbicara kepada AFP dengan syarat anonim, mengungkapkan bahwa kelompok tersebut siap untuk pertukaran sandera dalam satu gelombang serta menyetujui gencatan senjata selama lima tahun dengan Israel. Usulan baru ini muncul setelah proposal terakhir untuk gencatan senjata ditolak Israel awal bulan ini.
Proposal yang ditolak tersebut mencakup gencatan senjata ‘komprehensif’ untuk mengakhiri perang besar yang dimulai sejak 7 Oktober 2023. Penolakan Israel mencakup permintaan gencatan senjata selama 45 hari dengan imbalan pengembalian 10 sandera yang masih hidup. Menurut pejabat senior Hamas, tuntutan mereka tetap sama: kesepakatan harus mengarah pada berakhirnya perang secara permanen, penarikan penuh Israel dari Jalur Gaza, dan lonjakan bantuan kemanusiaan.
Hamas bersikeras bahwa penarikan Israel dan ‘berakhirnya perang secara permanen’ harus dilakukan sesuai rencana Presiden AS saat itu Joe Biden, yang membagi proses gencatan senjata menjadi dua fase. Fase pertama dimulai pada 19 Januari 2025, tetapi runtuh dua bulan kemudian. Hamas terus mendorong diskusi untuk fase kedua, sementara Israel ingin memperpanjang gencatan senjata fase pertama. Israel juga menuntut pengembalian semua sandera yang ditawan Hamas dalam serangan tahun 2023 dan pelucutan senjata Hamas, yang ditolak kelompok itu sebagai “garis merah.”