Breakingnewsjabar.com – Pengumuman penerapan tarif resiprokal oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, berubah menjadi ancaman serius yang menimbulkan kekhawatiran global. Tidak hanya bagi negara-negara yang dikenai tarif baru, tetapi juga bagi AS sendiri.
China menjadi salah satu negara yang langsung merespons dengan tindakan balasan. Negara tersebut mengenakan tarif sebesar 34% terhadap barang impor dari AS, memberlakukan pembatasan pada produk-produk tertentu, serta memasukkan 11 perusahaan AS ke dalam daftar “entitas yang tidak dapat diandalkan”.
Kebijakan tarif ini juga berdampak signifikan pada pasar saham global. Dow Jones Industrial Average mencatat penurunan hingga 1.500 poin selama dua hari berturut-turut, seperti dilansir CNBC Internasional, Minggu (6/4/2025).
Saham perusahaan yang memiliki hubungan bisnis dengan China ikut terpukul. Sektor teknologi merupakan yang paling terdampak, dengan saham Apple turun 7%, Nvidia melemah 7%, dan Tesla jatuh hingga 10%.
Harga minyak dunia juga mengalami penurunan drastis. CNBC Internasional melaporkan bahwa harga minyak anjlok hingga 8% pada Jumat lalu, mencapai level terendah sejak pandemi Covid-19 pada 2021.
Di tengah situasi ini, Ketua The Fed, Jerome Powell, memperingatkan bahwa kebijakan tarif yang diterapkan Trump dapat membawa dampak buruk bagi AS. Meskipun ekonomi AS saat ini tampak kuat, ada kekhawatiran tentang potensi kenaikan inflasi akibat tarif tersebut. Kebijakan ini juga dikhawatirkan dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi AS.
Powell menegaskan bahwa tugas utama The Fed adalah menjaga stabilitas inflasi dan memastikan bahwa kenaikan harga tidak menyebabkan masalah lebih besar. Namun, dia menyatakan bahwa The Fed akan menahan diri untuk tidak mengambil langkah kebijakan apa pun hingga ada kepastian lebih lanjut mengenai dampak dari tarif tersebut.
“Kami berada dalam posisi untuk menunggu kejelasan sebelum mempertimbangkan penyesuaian pada kebijakan kami. Masih terlalu dini untuk menentukan jalur yang tepat bagi kebijakan moneter,” ujar Powell.